Pasien yang datang ke dokter gigi biasanya punya masalah dengan keadaan gigi dan mulutnya. Bau mulut alias halitosis adalah salah satunya, bahkan urutan ketiga setelah penyakit dan kosmetik gigi.
Halitosis memang bukan penyakit, tetapi gejala dari suatu sebab. Beruntung kalau si penderita menyadarinya. Kalau tidak, hawa tak sedap dari mulut ini dapat menimbulkan pengaruh negatif dalam bisnis, kehidupan perkawinan, dan kepercayaan diri dalam pergaulan.
Memang ada kalanya bau mulut tidak disadari si penderita, sehingga dokter gigi sebagai orang pertama yang mengetahuinya harus menyadarkannya. Lalu apabila dalam pemeriksaan tidak didapati kelainan gigi dan mulut, dokter gigi perlu berkonsultasi dengan sejawat yang lebih berkompeten guna menemukan musabab munculnya bau mulut.
Kalau halitosis itu disebabkan kelainan di dalam mulut, umumnya itu terjadi akibat pembusukan sisa-sisa makanan oleh bakteri. Penimbunan sisa-sisa makanan terjadi karena kebersihan mulut yang buruk. Apalagi ditambah faktor susunan gigi yang salah posisi seperti misalnya gigi berjejal, akan semakin buruk. Selain itu, halitosis bisa tercetus oleh adanya interdental papil, resesi ginggiva (terbukanya akar gigi), pseudopocket dalam kaitannya dengan gigi bungsu.
Juga, pemakaian gigi palsu dari logam dan vulganit lebih sering menimbulkan bau daripada yang terbuat dari akrilik, kecuali gigi palsu akrilik itu tidak dipelihara dengan baik. Para pemakai gigi palsu sebaiknya membersihkannya sebagaimana gigi aslinya.
Karies gigi yang tidak dirawat adalah tempat bersembunyinya sisa makanan dan sudah barang tentu merupakan salah satu sumber halitosis. Salah satu penyakit gusi yang disebabkan oleh bakteri fusospirochaeta juga menimbulkan bau busuk yang sangat tajam.
Pembedahan di dalam mulut, seperti cabut gigi, odontektomi, alveolektomi, juga sering menimbulkan bau mulut. Ini dapat dipahami karena tidak berfungsinya pengunyahan pada sisi mulut yang sakit, disamping perdarahan kecil dan peningkatan jumlah bakteri.
Jika penyebab di dalam mulut sudah diatasi tetapi halitosis masih ada, maka perlu diwaspadai kemungkinan adanya penyakit yang tidak berkaitan dengan salah mulut dan gigi. Misalnya, leukemia, kencing manis, tumor ganas di hidung, abses paru-paru, TBC atau proses gangren (kematian jaringan).
Makanan, minuman dan obat-obatan juga sering menimbulkan hawa tak sedap. Makanan, minuman dan obat-obatan yang sudah diserap akan dibawa oleh darah menuju hati yang kemudian masuk ke empedu. Akhirnya HCl di dalam darah dibawa kembali ke paru-paru yang selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan.
Tugas dokter gigilah yang dapat membedakan bau mulut itu karena kelainan dalam mulut atau di luar mulut. Yang umum dipakai untuk menentukannya adalah cara brenning. Yakni, pasien diminta mengatupkan bibir dan mengembuskan nafas lewat hidung. Jika tercium bau, berarti penyebabnya di luar mulut atau sebaliknya.
Makanan, minuman dan obat-obatan juga sering menimbulkan hawa tak sedap.
Halitosis memang tidak selalu merupakan keadaan patoligis (berkaitan dengan suatu penyakit). Pada individu tertentu bau mulut itu normal, misalnya kalau baru bangun tidur, saat wanita sedang haid, manula (manusia usia lanjut) atau ketika seseorang dalam pengobatan dengan dimetil sulfida untuk terapi demam rematik.
Karena itu perawatan halitosis tergantung pada penyebabnya. Bila disebabkan kelainan di dalam mulut, bau tak sedap bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Halitosis akibat pembusukan sisa sisa makanan bisa ditanggulangi dengan menjaga kebersihan mulut dan gigi, antara lain dengan menggosok gigi dengan teratur dan boleh juga memakai obat kumur. Begitupun pemakai gigi palsu.
Sedangkan manula yang tak ingin hawa mulutnya berbau, dianjurkan mengurangi konsumsi gula guna meningkatkan jumlah saliva atau air liur.